Keluarga saya boleh dibilang sebagai keluarga yang hanya sedikit memiliki arsip, termasuk arsip foto. Sejak saya lahir, saya belum pernah--atau pernah, namun lupa--melihat foto kakek dari ayah dan ibu serta nenek dari ayah yang wafat sebelum saya lahir. Bahkan ketika rumah dan tangga orang tua saya mulai menetap di Kota Malang, arsip foto minim bisa saya nikmati.
Pun ketika orang tua saya berziarah ke tanah suci, salah satu kenangan yang teringat adalah satu rol film yang hangus akibat tustel pinjaman yang dibawa ke tanah suci terbuka dengan tak sengaja. Tak berapa lama kemudian, beberapa simpanan klise/negatif foto keluarga yang menyimpan rekaman cikal bakal keluarga bapak dan ibu saya yang saya kumpulkan akhirnya raib, mungkin akibat pindah rumah atau memang dianggap sebagai tumpukan kecil dokumen tak bersejarah. Untungnya, kami masih memiliki beberapa album serta satu cetakan foto pernikahan bapak dan ibu yang terpajang di dapur (meskipun dalam foto ini sebenarnya yang tampak adalah nenek saya, foto berdua ayah ibu entah ke mana).
Mungkin itu salah satu gairah kecil yang membuat saya terobsesi dengan fotografi. Ditambah dengan hubungan intim saya dengan pasar loak, menjadikan saya semakin bergairah ketika melihat foto-foto tanpa keluarga yang terpajang di kardus-kardus kecil di sepanjang rel Pasar Comboran.
Saya selalu menyimpan dokumen-dokumen tentang diri saya secara rapi, bahkan sebuah tiket perjalanan sekalipun. Sampai kini kira-kira ada ribuan tiket bus dan kereta api (dengan berbagai macam bentuk dan transformasinya), sekaligus dokumen dan benda-benda kecil yang saya adopsi dari pasar loak.
2015, saya melakukan penelitian untuk studi saya yang sedikit banyak membahas tentang sastra, mobilitas, dan trauma narrative di komunitas Indigenous Australia. Ketika itu pula saya berkenalan dengan sebuah buku berjudul "Family Frames: Photography, Narrative and Postmemory". Saya menyadari bahwa terdapat sejarah universal yang terbentuk dari jaringan-jaringan komunal dan familial, seperti sastra yang memiliki narasi trauma, atau album foto keluarga. Dari studi kasus tersebut, saya kemudian membesarkan tekad untuk melakukan digitalisasi secara menyeluruh pada arsip koleksi saya, ditambah dengan beberapa donasi dari kerabat, sekaligus metode 'nguping' serta wawancara singkat dengan kerabat mengenai asal-usul keluarga saya.
Dalam ingatan saya, tak banyak hal yang berbeda pada keluarga sederhana saya. Attitude yang termanifestasi dalam diri orang tua saya tumbuh dan besar di bawah tekanan rezim, seperti orang tua lain pada umumnya. Saya masih ingat, hobi menggambar kakak saya sempat menuai badai kemarahan bapak lantaran keisengannya waktu itu yang menggambar logo palu arit usai menonton film wajib G30S PKI, meskipun kami tidak mengerti apa cerita dan isinya. Waktu itu bapak merobek buku tulis kakak yang biasa dipakainya sebagai buku sekolah karena di halaman belakang buku itu palu arit tergambar dengan arsiran pensil yang sangat rapi. Kakak saya memang sangat pandai menggambar, beberapa dekade setelah itu ia menjadi desainer grafis yang handal.
Dari peristiwa itu, sepertinya sebuah trauma talah termanifestasikan dalam pikiran bapak ibu saya. Trauma yang tak terhapus meskipun hanya digambar dengan pensil. Solusi paling logis waktu itu adalah merobek habis buku tulis itu, menghancurkan segala hal yang menempel padanya, sampai akar-akarnya. Penghapus pensil, dengan logika itu, tentunya tak akan menyelesaikan trauma. Mungkin karena trauma memang seharusnya tak mudah dihapus begitu saja, ia harus ditularkan pada anak-cucu. Jika begitu, wajar saja jika tindakan merobek tuntas buku itu, atau bahkan kemudian membakarnya adalah sebuah solusi logis agar supaya trauma tersebut turut tertular pada kakak, dan saya.
Anyway, saya dan kakak saya adalah generasi bandit—bandel dan sengit—di era itu, segala kejadian-kejadian politis hanya kami ingat separuh saja. Kami lebih sibuk dengan film satria baja hitam dan Yoko, pendekar rajawali, yang harus kami tonton di TV tetangga usai mengaji di surau. Yang kami ingat dari krisis moneter adalah harga-harga naik, kata bapak ibu saya, yang tak juga begitu kami rasakan karena bagi saya dan kakak tak ada pemotongan uang saku karena waktu itu kami memang tidak rutin punya uang saku. Yang saya ingat dari reformasi adalah seorang tokoh pahlawan di buku SD yang dibubuhi coretan gambar ikat kepala bertuliskan "MASI REFOR". Kata reformasi terbalik akibat ia tak bisa dengan baik memprediksi coretannya, sepertinya ia tak bakat melukis, vandalisme buku mata pelajaran pun tak beres dikerjakannya. Selain itu, mungkin poster kabinet pemerintahan yang dicoret oleh ibu saya akibat menteri-menteri yang mendadak diganti setelah baru saja diputuskan usai PEMILU. Saya ingat waktu itu ibu berbicara agak ketus, 'amburadul', malam ketika kami berada di kios toko kami di depan rumah. Kemungkinan besar ketusnya adalah karena ia harus membeli lagi poster susunan kabinet yang lain, yang lebih baru.
Saya tak ingat persis waktu itu tentang peristiwa politis yang terjadi di Ibukota. Saya tak mendengar kerusuhan di Jakarta, tragedi Trisakti, tragedi Mei 98. Saya belum menyadari betapa legendarisnya Foto Bang Julian Sihombing yang tayang di halaman belakang koran KOMPAS. Semua itu hal yang asing bagi saya karena mungkin pikiran saya terlalu tersita oleh pertanyaan bagaimana menonton TV dengan nyaman dengan televisi Panasonic hitam putih yang hanya punya 12 saluran TV, sedangkan teman-teman saya waktu itu sudah membicarakan soal film Titanic yang mereka tonton di VCD, serta film Tarzan X, juga beberapa film lain yang disebut BF, Blue Film.
Tidak menonton film-film tersebut bukan berarti bahwa saya anak yang saleh dan takut dosa, namun memang kejadian terjadi hanya karena ada kesempatan. Dan sejak kecil memang saya tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi 'nakal' semacam itu. Alhamdulillah, sekaligus tidak. Tidak? karena bagaimanapun pengalaman adalah guru terbaik, mengalami dan mendalami peristiwa politik di akhir masa Orba misalnya, saya waktu itu tak sempat mendalaminya. Akibatnya mungkin saya akan menjadi pewaris narasi trauma seperti yang dialami orang tua saya.
Begitu pula dengan pengalaman menikmati foto-foto keluarga. Saya tidak banyak menikmati pengalaman semacam itu. Ketika duduk di bangku kuliah, waktu itu internet masih lumayan belum begitu populer sekali, serta kuota internet belum semurah sekarang ini, saya sering kali meminta teman saya menunjukkan arsip foto-foto keluarganya, terutama yang datang dari luar kota. Yang paling membuat saya bergairah adalah ketika teman saya menunjukkan, ini Monas, ini Riau, ini Tugu Khatulistiwa, ini perjalanan keluarga kami ke Nganjuk, kami berhenti di sini, makan ini di situ, kemudian lanjut ke sini. Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya lebih tersadarkan lagi, keluarga kami tak mempunyai jejak kenangan seperti itu. Paling tidak, foto-foto keluarga itu membantu menambal lubang-lubang ingatan yang tak tertahankan.
Lubang itulah yang kemudian membuat saya kemudian melakukan sedikit eksperimen dengan arsip foto-foto keluarga, meskipun bukan keluarga saya. Motivasi personalnya, seperti yang saya ceritakan di atas, untuk mengisi kekosongan cerita ala familia. Karena memang cerita soal piknik, tamasya, bukan cerita yang banyak ditemukan di keluarga saya, terutama yang bisa diceritakan lewat foto. Lebih banyak cerita-cerita kekonyolan anak kecil yang menghabiskan waktunya untuk meloloskan diri dari perintah-perintah orang tua.
Motivasi lainnya, mungkin, mungkin juga tidak, adalah untuk mengadopsi kenangan-kenangan yang terbuang itu--meskipun mengadopsi juga bukan kata yang tepat, karena beberapa arsip yang saya punya adalah salinan digital dari arsip foto keluarga teman saya. Namun dalam kasus foto-foto yang saya adopsi dari pasar loak, ketika gambar-gambar itu sudah terlepas dari ikatan familialnya, terlepaslah cerita sentimental yang melekat padanya.
Foto-foto tersebut menjadi sebuah objek yang dikebiri dari kenangannya, yang bisa dimaknai hanya sebagai objek semata, artefak tanpa nostalgia, serpihan antiklimaks dari sebuah era. Saya dan orang lain mungkin hanya akan melihat sebuah potret sebagai sebuah potret orang asing yang tak saya kenal di sebuah lokasi yang tak saya tahu. Saya, mungkin saja hanya akan tertarik dengan penanda-penanda yang lebih universal. Misalnya; gaya berpakaian, bentuk bangunan tua, bentuk mobil klasik, tempat-tempat tertentu, atau bahkan paling yang paling jauh, bagaimana keluarga (Indonesia) tergambar dari foto-fotonya.
Foto-foto ini mungkin adalah foto yatim piatu. Orphan images. Maka kemudian saya memutuskan untuk mengadopsi dan mencoba memetakan, melihat lebih dalam, serta berusaha memosisikan narasi familial dalam kaitannya dengan narasi yang lebih luas. Arsip tersebut adalah sebuah artefak kolektif yang tak disadari terbentuk dari percikan gejala dunia universal. Seperti buih dari ombak besar, cerita sampingan dari narasi yang lebih besar, the periphery of the central narrative. Ia terbentuk dalam ruang (a)politis yang lebih domestik, yang lebih intim, yaitu ruang bernama keluarga.
Arif Furqan
Fotografer, penulis, dan peneliti lepas di Yogyakarta. Sedang mengerjakan proyek pengarsipan foto keluarga Indonesia dalam Unhistoried. Juga menjadi salah satu bagian dari Flock Project, kolektif yang mengeksplorasi kemungkinan presentasi fotografi dalam medium cetak.